Menangkal Hoaks dengan Literasi Digital di New Normal

Menangkal Hoaks dengan Literasi Digital di New Normal

Menangkal Hoaks dengan Literasi Digital di New Normal

New normal adalah perubahan perilaku atau kebiasaan untuk tetap menjalankan aktivitas seperti biasa namun dengan selalu menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi COVID-19. Dimasa pandemik seperti saat ini banyak sekali hoaks – hoaks yang dibuat oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab yang ingin menambah kisruhnya kondisi saat ini.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hoaks atau hoax adalah berita bohong atau berita tidak bersumber. Hoax adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Menurut Silverman (2015), hoax adalah sebagai rangkaian informasi yang memang sengaja disesatkan, namun ‘dijual sebagai kebenaran. Menurut Werme (2016), hoax adalah berita palsu yang mengandung informasi yang sengaja menyesatkan orang dan memiliki agenda politik tertentu. Hoaks bukan sekedar misleading alias menyesatkan, informasi dalam fake news juga tidak memiliki landasan faktual, namun disajikan seolah-olah sebagai serangkaian fakta.

Hoaks ada karena keberadaan internet sebagai media online membuat informasi yang belum terverifikasi benar dan tidaknya tersebar cepat. Hanya dalam hitungan detik, suatu peristiwa sudah bisa langsung tersebar dan diakses oleh pengguna internet melalui media sosial. Pemanfaatan media sosial saat ini berkembang dengan luar biasa. media sosial (medsos) mengizinkan semua orang untuk dapat bertukar informasi dengan sesama pengguna. Perilaku penggunaan media sosial pada masyarakat Indonesia yang cenderung konsumtif, membuat informasi yang benar dan salah menjadi bercampur aduk.

Perkembangan hoaks

Hoax dibuat seseorang/kelompok dengan beragam tujuan. Hoax biasanya muncul ketika sebuah isu mencuat ke permukaan, namun banyak hal yang belum terungkap atau menjadi tanda tanya. Di Indonesia, hoax mulai marak sejak pemilihan presiden 2014 sebagai dampak gencarnya kampanye di media sosial. Hoax bermunculan guna menjatuhkan citra lawan politik alias kampanye hitam atau kampanye negatif. Menurut Dewan Pers, Ketua Dewan Pers (Yosep Adi Prasetyo), hoax : dampak berubahnya fungsi media sosial dari media pertemanan dan berbagi sarana menyampaikan pendapat politik dan mengomentari pendirian orang lain dan maraknya hoax di Indonesia juga karena adanya krisis kepercayaan terhadap media mainstream (TV, Radio, dll.).

Tujuan orang membuat hoaks adalah untuk Membuat, menggiring, dan membentuk opini publik/persepsi, Untuk bersenang-senang yang menguji kecerdasan dan kecermatan pengguna internet dan media social, Lelucon/sekedar iseng, Menjatuhkan pesaing (black campaign), Promosi dengan penipuan, Ajakan untuk berbuat amalan-amalan baik yang sebenarnya belum ada dalil yang jelas di dalamnya.

Jenis – Jenis Informasi Hoaks

  1. Fake news (Berita bohong). Berita yang berusaha menggantikan berita yang asli. Berita ini bertujuan untuk memalsukan atau memasukkan ketidakbenaran dalam suatu berita. Penulis berita bohong biasanya menambahkan hal-hal yang tidak benar dan teori persengkokolan, makin aneh, makin baik. Berita bohong bukanlah komentar humor terhadap suatu berita.
  2. Clickbait (Tautan jebakan). Tautan yang diletakkan secara stategis di dalam suatu situs dengan tujuan untuk menarik orang masuk ke situs lainnya. Konten di dalam tautan ini sesuai fakta namun judulnya dibuat berlebihan atau dipasang gambar yang menarik untuk memancing pembaca.
  3. Confirmation bias (Bias konfirmasi). Kecenderungan untuk menginterpretasikan kejadian yang baru terjadi sebaik bukti dari kepercayaan yang sudah ada.
  4. Misinformation (Informasi yang salah atau tidak akurat). Informasi yang salah dan tidak akurat dibuat terutama dengan tujuan untuk menipu.
  5. Satire. Sebuah tulisan yang menggunakan humor, ironi, hal yang dibesar-besarkan untuk mengomentari kejadian yang sedang hangat. Berita satir dapat dijumpai di pertunjukan televisi seperti “Saturday Night Live” dan “This Hour has 22 Minutes”.
  6. Post-truth (Pasca-kebenaran). Kejadian di mana emosi lebih berperan daripada fakta untuk membentuk opini publik.
  7. Propaganda. Aktivitas menyebar luaskan informasi, fakta, argumen, gosip, setengah-kebenaran, atau bahkan kebohongan untuk mempengaruhi opini publik.

Literasi Digital

Peran literasi digital sangat penting, karena dengan literasi digital mampu membuat kita untuk berpikir kritis, kreatif, dan inovatif dalam menghadapi masalah yang sedang terjadi. Literasi digital juga mampu membantu dalam memecahkan masalah, berkomunikasi menjadi lebih lancar, dan juga mampu berkolaborasi dengan lebih banyak orang.

Literasi digital sendiri dapat diartikan sebagai kecakapan menggunakan media digital dengan beretika dan bertanggungjawab untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi.

Ada tiga pilar transformasi digital, yaitu transformasi digital pada masyarakat, dunia usaha, dan pemerintahan. Literasi digital sendiri hadir dalam menunjang pilar transformasi digital pada masyarakat, dimana infrastruktur dan regulasi menjadi payung untuk meningkatkan digital awareness, digital knowledge, hygienic behavior, dan digital skill,” Berikut ini adalah gambar kerangka digital literacy framework.

Sumber: aptika.kominfo.go.id

Gambar di atas menunjukan bahwa bentuk nyata peningkatan literasi digital dituangkan dalam berbagai program untuk membentuk talenta-talenta digital Indonesia. Tahap paling awal berupa Gerakan Nasional Literasi Digital yang bertujuan memberikan dasar-dasar literasi digital kepada seluruh lapisan masyarakat.

Peran keluarga dalam hal ini adalah mengedukasi dan menjadi contoh dalam proses penyerapan informasi yang beredar luas di dunia maya. Ayah dan Ibu harus menjadi contoh dalam mengidentifikasi manakah berita yang terindikasi hoax maupun bermanfaat untuk dipahami. Demikian juga masyarakat harus belajar dan memberi edukasi yang penting dengan tidak serta merta menyebarkan berita yang tidak jelas kebenarannya dengan bijak. Semboyan “jempolmu, harimaumu” kini terasa semakin nyata dalam menyikapi informasi yang beredar di dunia maya. Maka yang harus dilakukan adalah menanamkan etika di era digital sebagai berikut, yaitu:

  1. Mintalah anak untuk tidak mengunci akun agar tetap terpantau
  2. Mengajak kritis menyikapi informasi
  3. Penggunaan media blog dapat melatih anak untuk menjadi penulis
  4. Eksplorasi minat dan bakat dengan informasi yang ada
  5. Konsisten menerapkan hukum jika melanggar dan apresiasi jika berhasil
  6. Ingatkan menghindari tayangan iklan rokok, miras, dan narkoba
  7. Menanamkan etika berkomunikasi di media social

Memperkenalkan keanekaragaman, dan situasi ekonomi. Berikut merupakan pembahasa mengenai Cara Menangkal Hoax dengan Literasi Digital. Kunjungi Website Resmi Telkom University untuk informasi lebih lanjut.

Share with:

Share on facebook
Facebook
Share on google
Google+
Share on twitter
Twitter
Share on linkedin
LinkedIn
Share on whatsapp
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *